Retnamudiasih.com – Sebuah novel sejarah yang mengisahkan perjalanan intelektual seorang anak manusia (yang diberi nama oleh Pram Minke=monyet) untuk menemukan arti kemanusiaan dan identitas kebangsaan awal abad 20-an. Berhadapan dengan kolonialisme dan sistem hukumnya yang diskriminatif, Minke melihat banyak ketimpangan-ketimpangan, penindasan-penindasa, politik pecah belah, pembagian kelas, dan politik kolonial yang menyengsarakan manusia Indonesia dan menjatuhkan kemanusiaan ke titik yang paling rendah dalam pergulatan sejarah manusia Indonesia.
Betapa tidak berharganya seorang Inlander (priboemi) dimata pemerintah kolonial. Berbagai pengalaman hidup dan kekecewaan yang dialami dalam kehidupannya, kehidupan seputar kehidupan pribadinya, terutama percintaannya dengan Annelis, yang karena berbeda warna mata harus mengalami “tragedi”.
Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal : 535
Harga : Rp 65.000,- Hemat Rp 53.000,-
Sinopsis “Bumi Manusia” oleh Pramoedya Ananta Toer
Namanya minke (baca: Mingke), tokoh yang digunakan oleh Pram untuk menggambarkan Indonesia di akhir 1800 hingga awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan National. Diceritakan dengan latar Surabaya dan Wonokromo serta beberapa kota lain di Provinsi yang kita kenal sekarang dengan nama Jawa Timur. Zaman yang digambarkan Pram dalam buku ini, mungkin sekilas pernah kita pelajari lewat pelajaran sejarah di sekolah, namun karena metode yang saya temukan hanyalah, mencatat buku sampai habis, maka hanya sedikit ingatan yang tersisa dari halaman-halaman buku yang entah dimana sekarang. Kisah Minke bermula di tahun 1898, saat itu dia adalah siswa H.B.S, sebuah sekolah Belanda. Ia mengaku pribumi, namun semua orang tahu, untuk masuk ke H.B.S, kalau bukan totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), pastilah si pribumi dijamin oleh sebuah kedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi.
Jauh sebelum Eropa beradab, bangsa Yahudi dan Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga…Kalau pribumi tak punya nama keluarga, memang karena mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Borobudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland (saya lupa catat hal-nya, bukunya sudah dikembalikan :D)
Sebagai seorang pribumi, Minke membaca dan menulis dalam bahasa Belanda sebanding bahkan lebih baik dari mereka yang berdarah totok. Lalu suatu ketika, atas ajakan teman sekelasnya, Minke berkunjung ke sebuah rumah mewah, jenis rumah yang tak pernah dimasukinya dan yang ia yakini adalah milik orang Belanda. Kunjungannya itu mengenalkannya pada Annelies, seorang gadis yang digambarkan Pram menandingi kecantikan bidadari yang turun dari kayangan. Minke pun jatuh cinta. Seakan nasib berpihak padanya, Ibu gadis itu, yang dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh seperti mendukung keberadaannya di rumah itu, mendorong Annelies untuk menemani Minke mengelilingi rumah mereka yang berujung pada semakin terperosoknya Minke dalam kekaguman akan kecantikan Annelies.
Sebutan Nyai, pada masa kolonial Belanda berarti gundik, simpanan orang Eropa, tidak dinikahi secara resmi, tetapi tinggal serumah dan bahkan melahirkan anak-anak berdarah campuran. Posisi Nyai ini dianggap lebih beruntung dari perempuan pribumi lainnya secara ekonomi, tetapi secara moral sangat direndahkan. Begitulah image Nyai Ontosoroh dimata orang. Ia tinggal bersama Robert Mellena dan Annelies, anak-anak hasil hubungannya dengan Herman Mellena. Nyai memimpin rumahnya sendiri, karena Herman Mellena jarang pulang, Ia mempertahankan bisnisnya dengan kepandaian ala Eropa. Nyai Ontosoroh memang berdarah Pribumi, tetapi tutur kata, budaya, pengetahuan dan kecakapannya sebanding dengan wanita Eropa yang terpelajar. Dalam sekali kunjungan, Nyai Ontosoroh menilai Minke sebagai anak muda yang baik dan bisa diandalkan, Ia pun memaksa Minke tinggal bersama mereka. Demikianlah Minke pun masuk ke dalam lingkungan Nyai Ontosoroh dan Annelies.
Selain karena menyukai Annelies, kepribadian Nyai Ontosoroh serta misteri keluarga Mellena adalah daya tarik lain untuk Minke menyetujui tinggal di rumah itu. Nyai Ontosoroh adalah potret wanita yang langka dimasa itu, memang ada banyak wanita lain yang mulai bekerja, meski dipandang aneh oleh zaman, tetapi Nyai bukan orang yang diatur untuk mengerjakan sesuatu tetapi dialah yang mengatur banyak orang untuk bekerja.
“Aku sendiri masih termanggu melihat perempuan meninggalkan dapur rumah tangga sendiri, berbaju-kerja, mencari penghidupan pada perusahaan orang, bercampur dengan pria” (hal 44, Minke)
“Sayang orang semacam itu takkan mungkin dapat hidup ditengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasan tanpa batas, entah dimana kelak bakal mendarat, diplanit lain atau kembali ke bumi, atau hilang dalam ketakterbatasan alam” (hal 348, Magda Peters tentang Nyai)
Seorang Pribumi seperti Minke tak punya kuasa untuk menentang perbudakan yang katanya sudah dihapuskan, tetapi masih tampak jelas disekitarnya. Dengan nama penanya, Max Tollenaar, Ia menyuarakan ketidakpuasannya, menulis pemikiran-pemikirannya dalam surat kabar berbahasa Belanda. Pram memberikan gambaran untuk pembaca tentang kuatnya pengaruh sebuah tulisan pada masa itu. Tulisan dapat memancing kerusuhan, membuat orang yang dikeluarkan dari sekolah kembali memperoleh tempatnya, membuat masyarakat melihat perspektif yang berbeda dalam sebuah drama kehidupan zaman kolonial, bahkan mendorong banyak orang rela mati untuk membela pihak yang mereka anggap benar. Minke yang dididik dengan cara berpikir modern memahami kesetaraan dalam hal sosial, dimana respek diperoleh karena seseorang layak mendapatkannya atas pemikiran yang cemerlang atau kepribadian yang mengaggumkan, bukan karena kedudukan yang dimilikinya. Minke mendobrak budaya menghormati orang karena label yang menempel pada orang itu, meski label itu berbunyi Ayahanda. Keharusan kaum pribumi untuk menerima semua perkataan orang yang lebih tua pun tidak diterima olehnya. Respek benar-benar earn (not given) dan hanya lewat budi pekerti yang baik, kepintaran dan kebijaksanaan hal itu bisa diperoleh.
“Sungguh teman-teman sekolah akan menertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, diatas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam” (hal. 181, Minke)
Tetapi dengan hidup di rumah Nyai pun, Minke membuka ruang kecaman untuk dirinya sendiri, baik dari pihak pribumi maupun kompeni. Beberapa konflik yang diangkat Pram dibuku ini, yang menimpa Minke, Nyai dan Annelies adalah potret dari tidak jelasnya hukum yang berlaku pada masa itu yang berujung pada perlakuan yang tidak adil untuk mereka yang bukan totok. Bahkan Minke yang tadinya sangat mengaggumi intelektualitas orang Belanda mencibir karena perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan pemikiran modern yang mereka ajarkan di sekolah Belanda.
Buku ini menjadi jendela saya melihat ke masa lalu, saya tumbuh ditahun 90an dan baru membaca buku ini tahun 2016, reaksi saya tentunya syok dan geram melihat situasi masa lalu seperti itu. Lewat Bumi Manusia saya mengenal konteks masa kolonial, potret pemuda yang menyanjung pengetahuan diatas darah, menimba ilmu dari cara Eropa tetapi menemukan kepincangan dalam attitude mereka, sementara dirinya sendiri geram dengan masyarakat dan adat pribumi serta mind-set yang mengekang terjadinya terobosan pada masa itu. Di buku ini juga, saya bertemu dengan Max Havelar alias Eduard Douwes Dekker. Saya jadi tahu dimana posisi buku Max Havelar dalam fiksi sejarah Indonesia, karena Bumi Manusia memberikan landasan untuk saya memetakan sejarah dan buku-buku historical fiction lainnya yang ingin saya baca, seperti Multatuli dan cerita tentang Nyai Dasima.
Quote “Bumi Manusia” oleh Pramoedya Ananta Toer
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri” (hal 59)
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” (hal 77)
“Dan taka da yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat dibumi ini” (hal 164)
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai” (hal 313)
“Mantap tidaknya kedewasaan dan nilai tergantung pada besar-kecilnya dan banyak-sedikitnya ujian, cobaan” (hal 392)