Retnamudiasih.com – Ada banyak tokoh yang di ceritakan oleh Tere Liye dalam novel Rindu ini, diantaranya : Bonda Upe, Daeng Andipati, Gurutta Ahmad Karaeng, Mbah Kakung, Ambo Uleng. Cerita ini bermula di suatu pagi di penghujung tahun 1938. Tepatnya tanggal 1 Desember 11938, bertepatan dengan 9 syawal 1357 H. Matahari baru sepenggalan naik ketika pagi itum sebuah kapal besar merapat di Pelabuhan Makassar.
Perjalanan ke tanah suci yang berlatar akhir tahun 1938. Perjalanan panjang dari Pelabuhan Makassar hingga Pelabuhan Jeddah. Perjalanan itu memakan waktu 30 hari lamanya. Jamaah-jamaah haji diangkut dengan kapal uap terbesar pada zaman itu. BLITAR HOLLAND.
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Jumlah halaman : 544
Harga : Rp 60.000 Hemat Rp 50.000
Sinopsis “Rindu” oleh Tere Liye
Ada cerita menarik sepanjang perjalanan yang panjang itu, Dilengkapi pertanyaan-pertanyaan dengan kisah yang berbeda-beda yang akan dijawab satu-persatu.
Pertama, Bonda Upe. Seorang perempuan yang dulunya terpaksa harus menjadi cabo (pelac*r). Hal itu terjadi karena ayahnya yang haus akan judi, tanpa sadar telah mengorbankan putrinya sendiri. Ia pikir dengan menjadi cabo, hidupnya akan berubah, tapi kenyataannya tidak. Sampai akhirnya, ia menemukan pria yang sungguh-sungguh menyayanginya tanpa melihat masa lalunya. Kini ia menjadi guru mengaji di kapal uap besar itu.
Kedua, Daeng Andipati. Orang yang terlihat bahagia dengan hidupnya. Kaya, berpendidikan, memiliki keluarga yang utuh tanpa kurang satu apapun. Ternyata, ada kisah yang ia simpan rapat-rapat. Masa lalunya yang gelap, kebencian pada ayahnya makin menjadi tiap hari. Ia pun bersumpah tak akan melakukan apa yang ayahnya lakukan.
Ketiga, Gurutta Ahmad Karaeng. Seorang ulama termasyhur pada zaman itu. Gurutta, panggilannya. Gurutta pun memiliki kisah menarik. Dia hari pertama ia belajar agama di Aceh, bukan main, ia diminta membaca Al-Fatihah berkali-kali oleh Syekh di depan banyak orang. Orang-orang menertawainya, tapi ada satu orang yang hanya tersenyum. Dialah putri Syekh. Beberapa bulan sebelum ia melanjutkan studinya ke Yaman, ia melamar putri Syekh itu, ia mendapat respons positif. Tanpa diduga, ada kejadian besar yang menyebabkan mereka meninggal di tempat kejadian. Gurutta pun sedih. Waktu pun berlalu, Gurutta menikahi seorang wanita dan dikaruniai 6 orang anak.
Keempat, Mbah Kakung. Beliau adalah sepuh di kapal uap itu. Pergi haji bersama istri dan anak sulungnya. Tanpa dikira, istrinya meninggal saat perjalanan menuju Jeddah. Terpaksa, pemakaman dilakukan dengan cara pelaut, yaitu jenazah akan ditenggelamkan. Mbah Kakung sedih sekali, karena beliau berencana dimakamkan bersebelahan dengan istri tercintanya. Siapa sangka, di perjalanan pulang, Mbah Kakung meninggal di tempat yang sama saat istrinya meninggal dulu. Terwujudlah keinginannya itu.
Kelima, Ambo Uleng. Kelasi dapur. Seorang laki-laki yang sengaja pergi jauh dari tempat tinggalnya, rela ia tak dibayar, asal bisa naik kapal itu. Jangan salah, keahliannya bukan main, meski terlihat pendiam, keahliannya sungguh berkelas. Tak salah, kapten kapal mengizinkannya naik kapal. Ia yang terpuruk akan masa lalunya, perempuan yang dikasihinya itu telah dijodohkan oleh orang tuanya. Apalah Ambo Uleng, ayah-ibunya telah tiada. Makanya ia memutuskan pergi jauh agar bisa melupakannya. Tapi, apa yang terjadi? Jodoh memang tidak kemana.
Quote “Rindu” oleh Tere Liye
Aku juga pernah muda seperti kau Ambo. Hanya dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja ditempat yang ia sukai, lantas memutuskan pergi naik kapal apa pun yang bisa membawanya sejauh mungkin ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam. Oh my son, jangan-jangan, kau mengalami dua hal itu sekaligus.” (hlm 33 ).
“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)
“Pendengaranku memang sudah tidak bagus lagi, Nak. Juga mataku sudah rabun. Tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu. Tapi aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir semua anak-anak kami. Waktu-waktu indah milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)
Lihatlah ke mari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri. (hal. 316)